Setan, bagi banyak orang, seolah bayangan yang tak tampak—ada, namun tak terlihat; sosok yang seolah melayang di antara bayang-bayang kehidupan. Namun, dalam firman-Nya, Allah dengan jelas memperingatkan:
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu” (Q.S. Al-Baqarah: 168).
Kata “nyata” ini menggugah kita, memberi tahu bahwa setan hadir di sekitar kita, bahkan dalam situasi yang jelas terlihat oleh mata; setan ada dan terasa melalui godaan, bisikan, dan tipu daya.
Tetapi, apakah karena setan itu nyata, kita bisa benar-benar “melihat” setan? Jawabannya mungkin lebih dekat dari yang kita kira.
Caranya sederhana: cobalah bercermin! Apa yang kita lihat? Di hadapan cermin, sekilas kita mungkin hanya melihat sosok diri kita—tubuh, wajah, senyum, atau mungkin raut lelah. Namun, mari kita lihat lebih dalam. Di balik refleksi fisik itu, terdapat jejak-jejak yang bisa menunjukkan godaan yang pernah menggoda kita, bisikan gelap yang kadang membelokkan niat kita, serta godaan untuk menyimpang dari kebenaran.
Baca Juga: Menggali Akar Ketertinggalan Dunia Muslim: Membaca Karya Ahmet T. Kuru
Ketika kita berdiri di depan cermin, kita berhadapan dengan diri kita sendiri—dengan segala hasrat, ambisi, kemarahan, iri, kecemasan, bahkan buruk sangka kepada Allah Swt. Setan ada di setiap kelemahan itu, bersiap menguasai pikiran kita. Saat kita melihat ke cermin, kita dapat melihat di mana setan mungkin telah mempengaruhi hidup kita. Pernahkah kita merasa tergoda untuk meninggalkan kebaikan, menuruti amarah yang tidak terkendali, atau memperturutkan kesombongan yang memabukkan? Setan hadir dalam bentuk-bentuk ini, dalam bayangan yang tak terlihat namun nyata memengaruhi sikap dan tindakan kita.
Saat kita berdiri di depan cermin, kita tidak hanya melihat wajah dan fisik kita, tetapi juga menatap ke dalam kedalaman jiwa kita. Di balik pantulan tersebut, tersembunyi jejak perjalanan batin yang panjang—sebuah kisah yang ditulis oleh setiap tindakan, pikiran, dan perasaan yang kita alami. Dalam setiap goresan refleksi, kita dapat menemukan sosok setan yang bersembunyi—bukan dalam bentuk yang menakutkan, tetapi dalam nuansa keserakahan, kemarahan, dan keinginan untuk mendominasi.
Setan tidak selalu datang dengan tanduk dan ekor; ia bisa jadi suara lembut yang merayu kita untuk mengikuti jalan yang salah. Ia bisikkan pada hati kita, meracuni ketenangan batin, dan membuat kita gelisah. Cermin ini, maka, menjadi alat yang ampuh untuk introspeksi. Ia membantu kita mengidentifikasi di mana letak kelemahan kita, mengenali bisikan yang pernah kita turuti, serta godaan yang perlu kita jauhi.
Be-cermin-lah!
Dalam dunia yang sering kali dipenuhi dengan kebisingan dan kekacauan, sangat penting untuk menyadari, bahwa di sisi lain setan yang kita hadapi kadang-kadang berasal dari dalam diri kita sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Ghazali dalam karya monumental Kimiyaus Sa’adah, setan merupakan manifestasi dari sifat-sifat negatif—yang ia sebut sebagai Akhlak al-Syayatin. Ketika kita terjebak dalam kemarahan, kebencian, atau bahkan ketika kita merasa tergoda untuk berbuat curang, saat itulah kita sedang berurusan dengan “setan” dalam diri kita sendiri—setan itu merupakan sifat, karenanya ia bisa bermanifestasi dalam berbagai bentuk, di antaranya seperti yang terlihat dalam cermin.
Refleksi diri yang mendalam bukanlah sekadar rutinitas; ia adalah panggilan untuk mengenal diri kita dengan lebih baik. Apakah kita benar-benar mendengarkan suara hati kita, ataukah kita membiarkan setan yang terpendam mengambil alih? Ketika kita tergoda untuk berbohong atau berbuat tidak adil, kita sebenarnya sedang memberi ruang bagi setan dalam diri kita untuk berkuasa. Inilah saatnya untuk kembali kepada nilai-nilai kebaikan, kepada integritas, dan kepada kejujuran.
Melalui perjalanan ini, kita bisa bertransformasi. Cermin itu bisa menjadi sahabat yang jujur, mengingatkan kita untuk tidak hanya memperbaiki penampilan luar, tetapi juga untuk memperbaiki jiwa kita. Mari kita lihat setan dalam cermin, sebagai bagian dari diri kita yang perlu kita hadapi dan atasi. Dengan keberanian untuk menghadapi bayangan gelap dalam diri kita, kita dapat mengubahnya menjadi cahaya yang menerangi jalan kehidupan kita.
Ketika kita melangkah ke dalam kegelapan, ingatlah bahwa setiap refleksi adalah kesempatan untuk tumbuh. Setiap kali kita berusaha mengatasi setan dalam diri, kita sedang membangun diri kita menjadi versi yang lebih baik. Jangan pernah takut untuk melihat ke dalam, karena di situlah letak kekuatan sejati kita. Mari kita berkomitmen untuk terus berjuang, mengatasi setiap bisikan yang meragukan, dan menjadikan perjalanan ini sebagai sarana untuk mencapai kedamaian batin dan kebangkitan jiwa.
Sekali lagi, perlu penulis tegaskan, jangan kita membayangkan bahwa setan tampil dalam sosok yang menakutkan, jahat, dan terasing dari diri kita. Setan itu tidak selalu datang dari luar! Sering kali, setan yang paling mengganggu dan merusak adalah yang terletak di dalam diri kita sendiri—sebuah bayangan gelap yang mencerminkan sisi negatif, keraguan, dan kelemahan kita.
Dalam setiap refleksi diri, kita dapat melihat betapa seringnya kita terjebak dalam perilaku yang merugikan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Keserakahan, kemarahan, kebencian, dan keinginan untuk menguasai—semua itu adalah setan yang mengintip di balik setiap pikiran dan perasaan kita. Ia tidak selalu muncul dengan suara keras, tetapi bisa jadi sebagai bisikan lembut yang membangkitkan keinginan untuk melawan nilai-nilai baik dalam hidup kita.
Ketika kita menyadari bahwa setan itu adalah diri kita sendiri, kita mulai memahami bahwa setiap keputusan yang kita ambil memiliki dampak yang besar. Setiap kali kita memilih untuk berbohong, curang, atau membiarkan emosi negatif menguasai kita, kita sebenarnya sedang memberi kekuatan kepada setan dalam diri kita. Inilah saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Sejauh mana kita membiarkan sisi gelap ini mengambil alih kehidupan kita?
Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali tadi, tentu mengingatkan kita bahwa setan sejati adalah sifat-sifat buruk yang bersemayam dalam jiwa manusia, kita sendiri. Dalam karya-karyanya, ia menggambarkan bahwa kita harus berjuang melawan sifat-sifat ini agar dapat menemukan jalan menuju kebaikan dan kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, introspeksi menjadi sangat penting. Kita harus berani melihat ke dalam, menghadapi rasa takut, keraguan, dan godaan yang ada dalam diri kita.
Dengan mengakui bahwa setan adalah bagian dari diri kita, kita mulai melakukan transformasi. Cermin yang kita hadapi bukan hanya memantulkan wajah kita, tetapi juga menggambarkan kompleksitas jiwa kita. Di sanalah kita bisa menemukan kekuatan untuk berubah, untuk mengatasi setiap godaan yang datang, dan untuk berkomitmen pada nilai-nilai kebaikan.
Akhirnya, perjuangan melawan setan dalam diri kita bukanlah hal yang mudah, karena kita sedang melawan diri kita sendiri, tetapi itu adalah perjalanan yang penuh makna. Ketika kita berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kita tidak hanya mengalahkan setan, tetapi juga menemukan cahaya sejati yang tersembunyi di dalam diri kita. Setiap langkah kecil, dengan mulai bercermin, lalu perlahan menuju kebaikan, adalah langkah menuju versi terbaik dari diri kita sendiri.
Baca Juga: Tips Menulis Buku Pertama
*Penulis adalah Guru Besar Filsafat Hukum Islam UIN Sumatera Utara Medan
Butuh buku Metodologi Penelitian Hukum Islam yang praktis dan mudah dipahami? Silahkan klik disini.